Rabu, 31 Desember 2014

Perkembangan Sejarah Jurnalistik Dunia dan Indonesia

Sejarah Jurnalistik Dunia
Acta Diurna
Awal  mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
“Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan. Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal. Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.

Masa Perkembangannya
Phapyrus pada masa peradaban Mesir
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”. Penggunaan  papirus sebagai media tulis menulis ini digunakan pada peradaban Mesir Kuno pada masa wangsa  firaun  kemudian menyebar ke seluruh Timur Tengah sampai Romawi di Laut Tengah, dan menyebar ke seantero Eropa. meskipun penggunaan papirus masih dirasakan sangat mahal. Dari kata  papyrus (papyrus) itulah dikenal sebagai paper dalam bahasa Inggris,  papier dalam bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancis, misalnya atau  papel dalam bahasa Spanyol yang berarti kertas. 

Tercatat dalam sejarah adalah peradaban Cina yang menyumbangkan kertas bagi dunia,  yaitu Tsai Lun yang menemukan kertas dari bahan bambu yang  mudah  didapat di seantero China pada tahun 102 Masehi. Penemuan ini akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring
menyebarnya bangsa-bangsa China ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itumeskipun pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat rahasia. Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Talas pada tahun 751 Masehi di mana para tawanan-tawanan perang mengajarkan cara pembuatan kertaskepada orang-orang Arab sehingga pada zaman Abbasiyah, muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Bagdad maupun Samarkand dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India, lalu Eropa khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol serta ke seluruh dunia.

Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.

Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.

Media berita pertama, Gazetta
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Terbitnya koran-koran di Eropa di awali dengan temuan mesin cetak Johann Gutenberg pada pertengahan abad XV yang memudahkan proses produksi. Awalnya lembar berita yang terbit tidak teratur dan memuat cuma satu peristiwa, kemudian berwvolusi dengan terbit teratur seperti yang dilakukan mingguan Avisa Relation oder Zeitung, sejak 1609 di Strasbourg, jerman. Rupanya awab XVII menjadi abad penting lahirnya banyak koran di Eropa. Tapi, mingguan Frankfurter Journal (1615) yang dikelola Egenolph Emmel di Frankfrut, Jerman, umum dipandang sebagai koran pertama di dunia. Sampai kemudian lahir Leipziger Zeitung (1660)  di Jerman, yang mula-mula mingguan, kemudian menjadi harian, Inilah koran harian pertama di dunia.
Tak lama kemuduan Inggris menyusul,diawali oleh The London Gazette (1665) yang masih koran berkala.Inggris mengenal  koran hariannya yang pertama dengan terbitnya The London Daily Courant (1702). The Times koran Inggris-yang terbit sejak abad XVII hingga kini-pertama kali memakai sistem cetak rotasi.Penemuan telegram dan jaringan kabel internasional di pertengahan 1800-an membuat wartawan bisa lebih cepat meliputi dari berbagai kawasan dunia.
Di Indonesia, koran sudah ada sejak tahu 1744,saat pemerintahan Gubjen. Van Imhoff,yaitu Bataviasche Nouvelles.Sayang umurnya cuma dua tahun. pada 1776, di jakarta terbit Vendu Nieus,yang memuat segala macam barang lelangan,mulai perabotan rumah tangga hingga budak.Mingguan ini berhenti terbit karena Gubjen.

Deandels kemudian menerbitkan Bataviascche Koloniale Courant (1810) yang juga berumur pendek, kaena Belanda harus menyingkir  demi Inggris, Inggris pun melihat perlunya koran, sehingga lahirnlah Java Government Gazette, sebagai corong pemerintah. Saat Belanda kembali berkuasa, koran itu diubah jadi Bataviasche Courant (1816), lalu Javasche Courant (1827). Tahun 1942, Belanda menyingkir karena Jepang datang. Koran yang sama di ambilalih pemerintah baru yang mengubahnya menjadi Ken Po, artinya berita pemerintah.

Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.

Mesin Cetak Gutenberg

Mesin cetak Johannes Gutenberg
Karya Johannes Gutenberg dalam mesin cetak di mulai sekitar 1436 ketika dia sedang bekerja sama dengan Andreas Dritzehan, seseorang yang pernah dibimbing oleh Gutenberg dalam pemotongan batu permata, dan Andreas Heilmann, pemilik pabrik kertas. Tetapi rekor resmi itu baru muncul pada tahun 1439 ketika ada gugatan hukum melawan Gutenberg; saksi-saksi yang ada membicarakan mengenai cetakan Gutenberg, inventaris logam (termasuk timah), dan cetakan ketikannya.

Masyarakat di Eropa pada saat itu juga sedang mengembangkan cetakan yang dapat dipindah-pindahkan, termasuk pandai emas Procopius Waldfoghel dari Perancis dan Laurens Janszoon Costerdari Belanda. Tetapi, mereka tidak dikenal karena telah menyumbang kemajuan spesifik kepada mesin cetak.

Gutenberg adalah orang pertama yang membuat cetakan dari campuran timbal, timah, dan antimon yang kritis untuk menghasilkan cetakan tahan lama yang menghasilkan buku cetak bermutu tinggi dan terbukti menjadi lebih cocok untuk percetakan daripada cetakan tanah liat, kayu atau perunggu yang diciptakan di Asia Timur. Hal ini merupakan sebuah pengetahuan yang didapatnya pada saat Gutenberg bekerja untuk seorang pandai emas professional. Untuk membuat cetakan timbal ini, Gutenberg menggunakan sesuatu yang membuat penemuannya dipertimbangkan sebagai penemuan yang paling cerdik, matriks istimewa memungkinkan pembentukan cetakan baru yang cepat dan tepat dari kerangka yang seragam.

Gutenberg  juga diakui karena memperkenalkan tinta berbasis minyak yang lebih tahan lama dibandingkan tinta berbasis air yang dulu dipergunakan. Sebagai bahan percetakan dia menggunakan naskah yang terbuat dari kulit binatang dan kertas, yang terakhir diperkenalkan di Eropa dari Cina dengan menggunakan cara orang Arab beberapa abad yang lalu.

Di dalam kitabnya, Gutenberg membuat percobaan terhadap percetakan berwarna untuk beberapa bagian awal halaman, tersedia hanya dalam beberapa salinan. Karya baru-barunya, The Mainz Psalter yang dikeluarkan pada tahun 1453, sepertinya di disain oleh Gutenberg tetapi diterbitkan di bawah terbitan penggantinya, Johann Fust dan Peter Schöffer, menggunakan huruf cetak awal berwarna merah dan biru yang rumit. Majalah Life menganggap Mesin Cetak adalah penemuan yang paling luar biasa pada 1000 tahun terakhir. Penting untuk disadari bahwa abjad mungkin merupakan kunci keberhasilan mesin cetak.

Mesin cetak juga merupakan faktor pendiri dari himpunan ilmuwan yang dengan mudah menceritakan penemuan mereka lewat pendirian jurnal ilmiah yang disebarkan secara luas. Hal ini membantu mereka membawa masuk revolusi ilmiah. Kepengarangan menjadi lebih berarti dan menguntungkan karena adanya mesin cetak. Tiba-tiba hal ini menjadi penting siapa yang mengatakan atau menulis apa, dan apa yang merupakan perumusan dan masa susunan yang tepat. Hal Ini memperbolehkan pengarang untuk menyebutkan persis referensi, yang menghasilkan peraturan, "Satu orang Pengarang, satu kerja (hak), satu potong informasi" (Giesecke, 1989; 325). Sebelumnya, pengarang bukan sesuatu yang penting, sejak salinan Aristotle yang dibuat di Paris tidak akan identik dengan yang asli di Bologna. Untuk banyak karya sebelum mesin cetak, nama pengarang secara menyeluruh hilang.

Dalam lima puluh atau enam puluh tahun penemuan mesin cetak, seluruh peraturan klasik sudah dicetak ulang dan disebarluaskan di seluruh Eropa (Eisenstein, 1969; 52). Sejak lebih banyak orang mempunyai akses terhadap pengetahuan baik baru maupun lama, lebih banyak orang dapat membicarakan karya ini.

Selanjutnya, sejak produksi buku adalah perusahaan yang lebih komersial, undang-undang hak cipta pertama disahkan untuk melindungi apa yang sekarang disebut hak-hak kepemilikan intelektual. Sedetik perkembangan popularisasi pengetahuan ini adalah kemunduran bahasa Latin sebagai bahasa kebanyakan karya yang diterbitkan, untuk digantikan oleh bahasa sehari-hari di masing-masing bidang, menambah jenis karya yang diterbitkan. Secara paradoksal, kata yang di cetak juga membantu untuk mempersatukan dan menstandarisasi ejaan dan sintaksis logat asli, dan mempunyai efek yang mengurangi keanekaragaman mereka. Kenaikan dalam kepentingan bahasa nasional yang bertentangan dengan masyarakat Eropa Latin disebutkan sebagai salah satu sebab kenaikan nasionalisme di Eropa.

Karena proses mencetak menjamin bahwa informasi yang sama jatuh pada halaman yang sama, halaman yang diberi nomor, daftar isi, dan indeks menjadi biasa, meskipun mereka dulunya belum dikenal. Proses membaca juga diubah, lambat laun berubah dalam beberapa abad dari pengukuran lisan sampai membaca pribadi. Ketersediaan bahan cetak yang luas juga menyebabkan kenaikan drastis di tingkat melek huruf dewasa di seluruh Eropa.

Sejarah Jurnalistik Indonesia

Koran Pertama Indonesia
Seperti halnya di negara - negara lain di dunia, jurnalisik di Indonesia di pengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berganti - ganti. Di Indonesia pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika surat kabar bernama ”Bataviasche Nouvelles” diterbitkan dengan pengusahaan orang-orang Belanda. Pada tahun 1776 terbit di Jakarta juga ”Vendu Niews” yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Ketika menginjak abad 19 terbit berbagai surat kabar lainya yang kesemuanya diusahakan oleh orang-orang belanda untuk pembaca-pembaca orang-orang belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda yang pada umumnya merupakan sekelompok kecil saja.

Surat kabar yang pertama untuk kaum pribumi dimulai pada tahun 1854 ketika majalah " Bianglala ' diterbitkan ; disusul oleh " Bromatani " pada tahun 1885, keduanya - keduanya di Weltevreden, dan pada tahun 1856 " Soerat Kabar Bahasa Melajoe " di Surabaya.
Surat kabar Medan Prijaji yang terbit pada zaman penjajahan
Sejak itu bermuncullah berbagai surat kabar dengan pemberitaan nya bersifat informatif, sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan itu. Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.

Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.

Sedangkan sejarah pers pada abad 20 ditandai dengan munculnya koran milik bangsa Indonesia. Modal dari bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia yakni " Medan Prijaji " yang terbit di Bandung. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurdjo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, yakni tahun 1907 berbentuk mingguan kemudian pada tahun 1910 diubah menjadi harian. Tirto Hadisurdjo ini dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain - lain.


Ditinjau dari sudut jurnalistik, salah seorang tokoh bernama Dr. Abdoel Rivai dianggap sebagai wartawan yang paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap kolonialisme Belanda. Oleh Adinegoro, Dr. Rivai diberi julukan " Bapak Jurnalistik Indonesia ", dan diakui oleh semua wartawan pada waktu itu sebagai kolumnis Indonesia yang pertama.

Perkembangan Koran di Indonesia
Sejarah koran di Indonesia sendiri terdapat 3 zaman, yaitu :

Zaman Belanda
Javasche Courant terbit di Indonesia
pada zaman Belanda
Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di Surabaya  Soerabajash  Advertentiebland  terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat kabar yang terbit adalah  Soematra courant, Padang Handeslsbland  dan  Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang)  terbit  Celebe Courantdan Makassaarch Handelsbland. Surat-surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.

Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe(Surabaya) dan Surat kabar berbahasa jawa Bromartani yang terbit di Solo.
      
Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat-alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei.

Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.

Zaman Awal Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan, Indonesia pun melakukan perlawanan dalam sabotase komunikasi. Surat kabar yang diterbitkan oleh bangsa Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintah Jepang.

Surat kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeraedi ikut melakukan propaganda agar rakyat datang berbondong-bondong pada rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta tanggal 19 September 1945. Surat kabar perjuangan lainnya antara lain adalah Merdeka yang didirikan oleh B.M Diah, Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Soeara Indonesia pimpinan Manai Sophian di Makassar,Pedoman Harian yang berganti nama Soeara Merdeka di Bandung,Kedaulatan rakyat di Bukit tinggi, serta surat kabar Demokrasi danOetoesan Soematra di Padang.

Zaman Orde Lama
Setelah presiden soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan mendapatkan (SIT) surat izin terbit dan surat izin cetak diperketat. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu amat menaruh perhatian pada pers. PKI memanfaatkan para buruh, termasuk karyawan surat kabar untuk melakukan apa yang dinamakan slowdown strike, yakni mogok secara halus. Dalam hal ini karyawan dibagian setting memperlambat kerja sehingga banyak kolom surat kabar yang tidak terisi menjelang deadline (batas waktu cetak). Akhirnya kolom kosong itu diisi iklan gratis sebagaimana dialami oleh Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada masa inlah sering terjadi polemic antara surat kabar yang pro PKI dan anti PKI.

Zaman Orde Baru
Pertumbuhan pers yang marak di satu pihak cukup sangat menggembirakan, tapi di lain pihak perlu diwaspadai. Karena masih banyak surat kabar atau majalah yang terdorong oleh tujuan komersial ataupun motif lainnya menyajikan berita-berita sensasional tanpa adanya norma-norma kesusilaan, sopan santun, kerahasian Negara dan kurang memperhatikan akibat tulisan yang dapat menyebabkan disintegrasi rakyat.

 Pembredelan di Era Orde Baru
 Pembredelan adalah pencabutan izin suatu media.

Alasan  pembredelan biasanya adalah  pemberitaan di media yang bersangkutan menjurus kepada hal-hal yang menyinggung penguasa dan/atau lapisan masyarakat tertentu.
Salah satu perilaku buruk penguasa dari dulu sampai sekarang adalah melakukan pembredelan terhadap media massa maupun elektronik yang berusaha menguak kebobrokan atau perilaku korup penguasa. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari menutup mulut wartawan dengan amplop sampai dengan pembredelan medianya, bahkan bila perlu membunuh wartawannya pun menjadi halal.

Kebiasaan penguasa melakukan pemberedelan pers sebenarnya sudah terjadi lama. Misalnya sejak tahun 1712, Direktur VOC melarang rencana penerbitan surat kabar pertama di Jakarta. Kalau penjajah yang melarang jelas karena memang mereka tidak ingin media menjadi senjata ampuh untuk perjuangan kemerdekaan dan mendidik masyarakat. Namun jika pembredelan dilakukan setelah kita merdeka, apa bedanya penguasa negeri ini dengan penjajah Belanda. Benar kiranya pernyataan, bahwa kita sekarang dijajah bangsa sendiri.

Berikut sejarah pembredelan, intervensi dan warning kepada beberapa media yang dapat diidentifikasikan pada berbagai delik dan tahun kejadiannya. Pertama, delik keamanan nasional dan ketertiban umum terhadap harian Kami dan Duta Masyarakat (1971), Harian Sinar Harapan (1973), Harian Nusantara, Abadi, Indonesia Raya, Kami, Jakarta Times, Suluh Berita, Express, Wenang dan Mahasiswa Indonesia (1974), majalah Newsweek (1976), koran mahasiswa UI Salemba (1977), majalah Tempo dan harian Pelita (1982), jurnal Ekuin (1983), majalah Topik dan majalah Fokus (1984).

Kedua, masuk dalam delik penghinaan terhadap majalah Matahari (1979), majalah Yaumul AL Quds (1983), majalah Expo (1984) dan majalah Editor (1989). Ketiga, delik agama terhadap tabloid Monitor yang saat itu dipimpin Arswendo Atmowiloto (1990). Keempat, delik penyiaran kabar bohong terhadap Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pop Sore (1978), serta Harian Prioritas (1987).

Era bisnis (1974-1988)
Mulai pertengahan tahun 1970-an pers makin tampil sebagai sebuah industri. Hal ini karena pemerintah orde baru berhasil melakukan perbaikan ekonomi yang berdampak pada tingkat daya beli masyarakat.Tetapi pada sisi lain terjadi peningkatan control pemerintah terhadap pers. Sikap pemerintah itu semakin jelas ketika terjadi peristiwa kerusuhan malapetaka 15 januari 1974 (Malari). Pasca kerusuhan tersebut pemerintah menghentikan secara tetap 12 surat kabar yang memberitakan peristiwa tersebut. Pembredelan pun terus terjadi. Hal tersebut membuat terjadinya pergeseran sikap pers menjadi lebih hati-hati karena mereka takut dibredel. Hal ini guna menyelamatkan kelangsungan bisnis mereka.

Awal 1974, terjadi  pembatalan  izin terbit massal yang menimpa harian Nusantara pimpinan Tengku Dzulkifli Hafas, Abadi di bawah pemimpin redaksi Soemarso Soemarsono, Harian Kami, Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, The Jakarta Times pimpinan Zein Effendi, Pedoman pimpinan Rosihan Anwar, mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia dan majalah berita Ekspres (semuanya terbit di Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mahasiswa Indonesia (Jakarta) serta Indonesia Pos (Ujung Pandang). Media tersebut diberangus karena pemberitaan mereka yang tidak menyenangkan penguasa mengenai peristiwa unjuk rasa anti-pemerintah oleh mahasiswa pada bulan Januari tahun itu. Di samping itu, pemerintah menahan Mochtar Lubis dan wakil pemimpin redaksi Indonesia Raya Enggak Bahau’ddin dan Soemarso Soemarsono. Wartawan lain yang pernah ditahan beberapa tahun kemudian adalah Syahrir Wahab dan Mansur Amin. Pengadilan T. Hafas oleh pemerintah atas tuduhan ‘menyebar kebencian’ adalah kasus pers yang menonjol di awal masa Orde Baru.

Pembredelan Surat Kabar di Masa Orde Baru

Pada era orde baru, pelanggaran terbit bagi pers berdasarkan dua undang-undang, yaitu UU No. 1 Tahun 1966 yang di dalamnya mengtur tentang Surat Ijin Terbit (SIT) dan UU No. 21 Tahun 1982 mengatur tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Pada kedua undang-undang itu istilah pers dirumuskan secara negatif. Artinya, kedua undang-undang itu melarang adanya tindakan pembredelan terhadap pers. Namun pada prakteknya, mekanisme SIT dan SIUPP digunakan untuk membredel pers sepanjang sejarah Orde Baru.
Dalam UU No.11 Tahun 1966 pasal 8 menyebutkan bahwa setiap warganegara Indonesia berhak membentuk penerbitan pers dan untuk itu tidak diperlukan SIT. Pasal 20 ayat 1 huruf a menentukan bahwa selama masa peralihan berlakunya undang-undang ini penerbitan pers diwajibkan memiliki SIT, sampai ketentuan ini dicabut oleh pemerintah atau DPR. Pasal 11 menentukan bahwa apabila penerbitan pers bertentangan dengan Pancasia dapat dilarang terbit. Beberapa pasal itulah yang dijadikan dasar pemerintah untuk melakukan pelanggaran terbit bagi suatu penerbitan pers.

Selama berlakunya UU tersebut, khususnya pada era 1970-an, tercatat 26 penerbitan pers dilarang terbit kembali. 12 di antaranya dicabut SIT-nya sehubungan dengan peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari).

Peristiwa Malari meletus berawal dari adanya kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Jakarta. Kunjungan tersebut disambut oleh demonstrasi mahasiswa yang menjalar pada massa secara meluas, yang mengakibatkan huru-hara. Demonstrasi itu bermuatan kritik terhadap kebijakan pembangunan yang diambil pemerintah dah naiknya hutang dalam negeri. Karena pers dituduhikut menyebarkan dan memanaskan suasana saat itu, pers terkena imbasnya, yaitu terkena pelanggaran terbit.

Sebagai rangkaian dari pembredelan itu, dua wartawan senior, Mochtar lubis dan Baha’uddin, pemimpin redaksi dan wakil pemimpin redaksi harian Indonesia raya, sempat ditahan oleh pihak keamanan dengan tuduhan mengadakan rapat gelap untuk menggulingkan  pemerintah. Empat belas penerbitan lainnya dibredel sehubungan dengan aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa kampus perguruan tinggi pada tahun 1977-1988. Demonstrasi itu bermuatan kritik mahasiswa terhadap ketidakadilan, disparitas pendapatan yangcukup tajam da tuntutan agar Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden sekaligus untuk tidak mencalonkan diri kembali pada pemilu berikutnya.

Pembredelan kali ini termasuk juga terhadap sejumlah penerbitankampus Salemba, Tri Dharma, Kampus, Integritas, Berita ITB, dan Aspirasi. Padahal pers kampus dianggagp sebagai “cagar alam kebebasan pers”.

Selama tahun 1980-an, sebelum lahirnya konsep SIUPP, pencabutan SIT juga terjadi terhadap beberapa media pers. Beberapa alas an yang dijadikan dasar untuk pembredelan itu alas an stabilitas politik, seperti kasus TEMPO da PELITA, ketika memberitakan huru-hara saat kampanye pemilu tahun 1982. Sepanjang tahun 1983-1984, tercatat empat penerbitan pers, Jurnal Ekuin, Expo, Topik dan Fokus, dicabut SIT-nya dengan beragam alas an.

Lahirnya UU No. 21 Tahun 1982 sebagai penyempurnaan dan pengganti undang-undang yang lama, konsep SIT dihapus dan diperkenalkan konsep SIUPP. Munculnya konsep SIUPP ini dinilai sebagai pergeseran dari pers politik menuju pers industri.

UU No. 21 tahun 1982 Pasal 3 ayat 5 menentukan bahwa setiap penerbitan pers harus memilki SIUPP, yang akan diatur pemerintah. Dalam Pasal 33 ditentukan bahwa SIUPP suatu penerbitan pers dapat dibatalkan. Syarat-syarat untuk membatalkanya ada dalam pasal itu juga.

Tindakan Pemerintah melarang terbit dengan mekanisme pembatalan SIUPP pun terjadi pada pertengahan tahun 1944. Tiga penerbitan pers TEMPO, DETIK, dan Editor, dibatakan SIUPPnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 123/KEP/MENPEN/1994 dengan alas an isi yang dimuat TEMPO sudah tidak dapat lagi mencerminkan pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab.


Detik dicabut SIUPP-nya dengan SK MENPEN No.125/KEP/MENPEN/1994 dengan dalil telah menyalah gunakan SIUPP-nya dengan mengubah isi tabloid yang semula tentang informative, detektif, dan criminal, menjadi berita umum dan politik, sedangkan EDITOR melalui SK MENPEN No. 124/KEP/MENPEN/1994 dibatalkan SIUPP-nya karena masalah kekosongan pengelola majalah tersebut.


Sumber :
https://www.academia.edu/7323672/Sejarah_kertas
http://serbasejarah.blogspot.com/2011/05/sejarah-pers-indonesia.html
https://prezi.com/afq9f5d-z_2v/sejarah-pers-dunia/

Rabu, 10 Desember 2014

Kearifan Lokal Desa Wisata Wae Rebo, Flores



BAB I
PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang
            Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia. Kearifan lokal terbentuk sebagai proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya. Di dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat setempat. Contohnya seperti kearifan lokal yang dapat kita temui di desa wisata Wae Rebo yang masih bergantung dari alam ini juga merupakan suguhan tersendiri ketika berkunjung ke desa wisata ini. Adapun prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya serta berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peran
masyarakat lokal (Suhartini 2009:1).



1.2.  Rumusan Masalah
        a.       Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal ?
        b.      Apa yang dimaksud desa wisata ?
        c.       Apa saja yang menjadi kearifan lokal di desa wisata Wae Rebo, Flores?



1.3.  Tujuan Penulisan
        a.       Untuk mengetahui tentang kearifan lokal
        b.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan desa wisata
        c.       Untuk mengetahui kearifan lokal yang ada di desa wisata Wae Rebo, Flores
        d.      Untuk memenuhi tugas softskill kepariwisataan 2

1.4.  Manfaat Penulisan
  Memberikan informasi dan pengetahuan baru kepada pembaca mengenai pariwisata  
  dan kearifan lokal  yang ada di desa Wae Rebo, Flores, Nusa Tenggara Timur.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Pengertian Kearifan Lokal
            Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
            Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
            Selanjutnya Ridwan (2007:2) memaparkan, kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai "kearifan/kebijaksanaan". Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka.

2.2  Pengertian Desa Wisata
            Desa wisata adalah sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan lingkungan yang
masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata. Selain berbagai keunikan, kawasan desa wisata juga harus memiliki berbagai fasilitas untuk menunjangnya sebagai kawasan tujuan wisata. Berbagai fasilitas ini akan memudahkan para pengunjung desa  wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Fasilitas-fasilitas yang sebaiknya dimiliki oleh kawasan desa wisata antara lain adalah sarana transportasi, telekomunikasi, kesehatan, dan juga akomodasi. Khusus untuk sarana akomodasi, desa wisata menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata sehingga para pengunjung pun turut merasakan suasana pedesaan yang masih asli.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Desa Wae Rebo
            Wae Rebo merupakan sebuah desa yang terletak di Barat Daya kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Desa Wae remo merupakan desa  kecil dengan 7 rumah adat berbentuk kerucut, yang telah dihuni turun temurun selama 19 generasi. Untuk mencapai desa Wae Rebo, akses transportasi udara akan lebih mudah dilalui jika perjalanan dimulai dari Labuan Bajo. Dari beberapa sumber, kebanyakan pengunjung mengambil rute memutar dari Ruteng sebelum menuju desa Denge yang merupakan desa terakhir sebelum menuju desa Wae Rebo. Selama perjalanan panjang menuju desa Denge kita akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa, hamparan sawah dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak dan pemandangan pesisir pantai yang menggoda.
            Denge merupakan desa pesisir yang berada di tepi pantai. Dari Denge kita bisa melihat pulau Mules dengan sebuah puncak yang terletak di tengah pulau tersebut. Denge berperan sebagai desa transit bagi para wisatawan sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah ada beberapa homestay yang dikelola oleh warga Denge maupun Wae Rebo yang turun gunung. Biasanya sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat di Denge setelah perjalanan panjang dari Labuan Bajo atau Ruteng. Desa Denge adalah desa terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor, baik itu motor maupun mobil. Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki. Untuk memudahkan para pengunjung, banyak pemuda desa Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi tenaga porter, membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat trekking menuju Wae Rebo.
            Perjalanan akan dimulai dari Denge denga jarak tempuh ± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 – 4 jam, sangat tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung. Karena letak desa Denge persis di tepi pantai, bisa dikatakan perjalanan ke Wae Rebo dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki pengunungan hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute awal merupakan jalanan tanah lebar yang sekiranya akan dibuat jalan aspal. Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada saat memasuki hutan, pengunjung akan disambut oleh riuhnya suara kicauan burung. Hutan di wilayah ini merupakan area umum, yaitu sebuah lokasi yang menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat. Tidak heran jika selama perjalanan melintasi hutan, kita akan sering bertemu dengan warga masyarakat yang sedang mengambil hasil hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo atau Denge, atau hanya sekedar berkunjung ke sanak keluarga, dan lain sebagainya. Rute berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan yang rawan longsor dan jalanan semakin menyempit. Jalur dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pengunjung. Jalur terberat adalah jalur antara Denge hingga Wae Lumba. Jalur ini berkarakter bebatuan yang besar, kerap menanjak dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah sungai kecil sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga menegangkan, terutama untuk orang yang takut ketinggian. Pengunjung akan menyusuri jalur yang berada di bibir jurang. Poco Roko merupakan titik tertinggi dan lokasi dimana masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini biasanya warga mencari sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon berarti komunikasi dengan dunia luar bisa terjadi. Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update status di salah satu jejaring sosial pada saat berada di Poco Roko. Beberapa menit setelah melalui Poco Roko, kita akan sampai di Ponto Nao. Disini terdapat sebuah pos pemantau dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama seperti bahan yang digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat di kejauhan sebuah dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang mengepulkan asap. Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo. Jalur perjalanan akan menurun dengan hamparan tanaman kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang kampung Wae Rebo.


3.2  Kearifan lokal di desa Wae Rebo
            Wae Rebo adalah desa adat Manggarai Tua yang berusaha untuk melestarikan kearifan lokal sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan adalah ritual Pa’u Wae Lu’uRitual ini dipimpin oleh salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta ijin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut meninggalkan kampung ini. Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan kepada pengunjung ketika sudah sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai saudara yang sedang pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto. Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing kecil tentang beberapa hal yang tabu dilakukan selama para tamu berada di Wae Rebo. Beberapa hal tersebut antara lain adalah memakai pakaian sopan, artinya untuk para wanita tidak diperkenankan memakai tank top atau hot pants, selain karena udara dingin, hal ini akan membuat warga masyarakat menjadi risih. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu dengan lawan jenis maupun sejenis, seperti berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman, bahkan untuk yang sudah berstatus suami istri. Hal lain yang perlu dihindari adalah mengumpat atau memaki selama berada di kampung ini. Pengunjung juga diharuskan melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah. Kearifan lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tentang penggunaan uang administrasi bagi wisatawan yang masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan bahwa biaya administrasi selalu dikaitkan dengan komersialisasi budaya, uangnya dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu dikaitkan dengan korupsi. Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut kearifan lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang administrasi yang didapat dari wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para ibu, pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar generator set dan sumber air. Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan pengrajin kain tenun cura. Saat ini warga Wae Rebo sedang mengembangkan berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan yang datang, bisa mengikuti kegiatan ini, seperti ikut menumbuk kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan para lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan kain cura yang biasanya dilakukan di depan rumah. Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat malam tiba pengunjung akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang namanya sudah mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam dari daun pandan, kita akan bercengkerama dan saling berbagi cerita tentang pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sikap hidup masyarakat Wae Rebo yang rendah hati yang ditunjukan  dalam keramahan menyambut orang yang datang berkunjung merupakan salah satu nilai yang bisa diambil oleh para generasi muda Indonesia untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kearifan lokal yang terdapat di dalam masyarakat desa Wae Rebo juga mengajarkan kita untuk melestarikan nilai-nilai kekerabatan yang sudah melekat erat dalam kebudayaan mereka.



Sumber :
Ridwan, N.A. (2007). Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.5, (1), 27-38.
http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kearifan.yang.Memesona