Sejarah
Jurnalistik Dunia
Acta Diurna |
Awal
mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari berbagai literatur tentang
sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi
Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
“Acta
Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi
sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau
surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak
Pers Dunia”.
Sebenarnya,
Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan
berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala
kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di
serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap
orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat
berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para
anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita
tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu
disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau
dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk
diketahui oleh umum. Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat
itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat
catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap
hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata
“Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata
“Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke
dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang
berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul
kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam
sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal
jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir
besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga,
para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan. Untuk mengetahui apakah air
bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk
memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya
melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air.
Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun
berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada
seluruh penumpang kapal. Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai
pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi
Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
Masa Perkembangannya
Phapyrus pada masa peradaban Mesir |
Kegiatan penyebaran informasi melalui
tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya
menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”. Penggunaan papirus sebagai media tulis menulis ini
digunakan pada peradaban Mesir Kuno pada masa wangsa firaun kemudian menyebar ke seluruh Timur Tengah sampai Romawi di Laut Tengah, dan menyebar
ke seantero Eropa. meskipun penggunaan papirus masih dirasakan sangat mahal.
Dari kata papyrus (papyrus)
itulah dikenal sebagai paper dalam bahasa Inggris, papier dalam bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancis, misalnya atau papel dalam bahasa Spanyol yang berarti kertas.
Tercatat dalam sejarah adalah peradaban Cina yang menyumbangkan kertas bagi dunia, yaitu Tsai Lun yang menemukan kertas dari bahan bambu yang mudah didapat di seantero China pada tahun 102 Masehi. Penemuan ini akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring menyebarnya bangsa-bangsa China ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itumeskipun pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat rahasia. Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Talas pada tahun 751 Masehi di mana para tawanan-tawanan perang mengajarkan cara pembuatan kertaskepada orang-orang Arab sehingga pada zaman Abbasiyah, muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Bagdad maupun Samarkand dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India, lalu Eropa khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol serta ke seluruh dunia.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina
muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao,
artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat
kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Media berita pertama, Gazetta |
Pelopor
surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di
Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan
Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang
penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian
surat kabar ini dicetak.
Terbitnya koran-koran di Eropa di awali dengan temuan
mesin cetak Johann Gutenberg pada pertengahan abad XV yang memudahkan proses
produksi. Awalnya lembar berita yang terbit tidak teratur dan memuat cuma satu
peristiwa, kemudian berwvolusi dengan terbit teratur seperti yang dilakukan
mingguan Avisa Relation oder Zeitung, sejak 1609 di Strasbourg, jerman. Rupanya
awab XVII menjadi abad penting lahirnya banyak koran di Eropa. Tapi, mingguan
Frankfurter Journal (1615) yang dikelola Egenolph Emmel di Frankfrut, Jerman,
umum dipandang sebagai koran pertama di dunia. Sampai kemudian lahir Leipziger
Zeitung (1660) di Jerman, yang mula-mula mingguan, kemudian menjadi harian,
Inilah koran harian pertama di dunia.
Tak lama kemuduan Inggris menyusul,diawali oleh The
London Gazette (1665) yang masih koran berkala.Inggris mengenal koran
hariannya yang pertama dengan terbitnya The London Daily Courant (1702). The
Times koran Inggris-yang terbit sejak abad XVII hingga kini-pertama kali
memakai sistem cetak rotasi.Penemuan telegram dan jaringan kabel internasional
di pertengahan 1800-an membuat wartawan bisa lebih cepat meliputi dari berbagai
kawasan dunia.
Di Indonesia, koran sudah ada sejak tahu
1744,saat pemerintahan Gubjen. Van Imhoff,yaitu Bataviasche Nouvelles.Sayang
umurnya cuma dua tahun. pada 1776, di jakarta terbit Vendu Nieus,yang memuat
segala macam barang lelangan,mulai perabotan rumah tangga hingga budak.Mingguan
ini berhenti terbit karena Gubjen.
Deandels kemudian menerbitkan Bataviascche
Koloniale Courant (1810) yang juga berumur pendek, kaena Belanda harus
menyingkir demi Inggris, Inggris pun melihat perlunya koran, sehingga
lahirnlah Java Government Gazette, sebagai corong pemerintah. Saat Belanda
kembali berkuasa, koran itu diubah jadi Bataviasche Courant (1816), lalu
Javasche Courant (1827). Tahun 1942, Belanda menyingkir karena Jepang datang.
Koran yang sama di ambilalih pemerintah baru yang mengubahnya menjadi Ken Po,
artinya berita pemerintah.
Di Amerika
Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah
“Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick
Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin
Harris.
Pada Abad
ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat
berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai
berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan
bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran
eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan
pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad
ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di
Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing.
Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi
juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di
Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis
oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama
Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of
Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya
bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad
ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah
profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada
masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan
kian majunya teknik percetakan.
Pada abad
ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan
pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil
menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki
era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian
antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah
jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah
jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang
tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk
profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada
pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi
mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai
penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi
hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan
Agence-France Presse (Prancis).
Tahun
1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme
kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di
Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh
William Randolph Hearst.
Ciri khas
“jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan
judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan
penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan
munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai
catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta
dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif
dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita
yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran
akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk
organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali
didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara
lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak
diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep
seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai
standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
Mesin Cetak
Gutenberg
Mesin cetak Johannes Gutenberg |
Karya Johannes Gutenberg dalam mesin cetak di mulai sekitar 1436 ketika
dia sedang bekerja sama dengan Andreas Dritzehan, seseorang yang pernah dibimbing oleh Gutenberg dalam
pemotongan batu permata, dan Andreas Heilmann,
pemilik pabrik kertas. Tetapi rekor resmi itu baru muncul pada tahun 1439
ketika ada gugatan hukum melawan Gutenberg; saksi-saksi yang ada membicarakan
mengenai cetakan Gutenberg, inventaris logam (termasuk timah), dan cetakan
ketikannya.
Masyarakat di Eropa pada saat itu juga sedang
mengembangkan cetakan yang dapat dipindah-pindahkan, termasuk pandai emas Procopius
Waldfoghel dari Perancis dan Laurens Janszoon Costerdari Belanda. Tetapi, mereka tidak
dikenal karena telah menyumbang kemajuan spesifik kepada mesin cetak.
Gutenberg adalah orang pertama yang membuat
cetakan dari campuran timbal, timah, dan antimon yang kritis untuk menghasilkan
cetakan tahan lama yang menghasilkan buku cetak bermutu tinggi dan terbukti
menjadi lebih cocok untuk percetakan daripada cetakan tanah liat, kayu atau
perunggu yang diciptakan di Asia Timur. Hal ini merupakan sebuah pengetahuan
yang didapatnya pada saat Gutenberg bekerja untuk seorang pandai emas
professional. Untuk membuat cetakan timbal ini, Gutenberg menggunakan sesuatu
yang membuat penemuannya dipertimbangkan sebagai penemuan yang paling cerdik,
matriks istimewa memungkinkan pembentukan cetakan baru yang cepat dan tepat
dari kerangka yang seragam.
Gutenberg juga diakui karena memperkenalkan tinta berbasis minyak yang lebih tahan lama dibandingkan tinta berbasis air yang dulu dipergunakan. Sebagai bahan percetakan dia menggunakan naskah yang terbuat dari kulit binatang dan kertas, yang terakhir diperkenalkan di Eropa dari Cina dengan menggunakan cara orang Arab beberapa abad yang lalu.
Di dalam kitabnya, Gutenberg membuat percobaan terhadap percetakan berwarna untuk beberapa bagian awal halaman, tersedia hanya dalam beberapa salinan. Karya baru-barunya, The Mainz Psalter yang dikeluarkan pada tahun 1453, sepertinya di disain oleh Gutenberg tetapi diterbitkan di bawah terbitan penggantinya, Johann Fust dan Peter Schöffer, menggunakan huruf cetak awal berwarna merah dan biru yang rumit. Majalah Life menganggap Mesin Cetak adalah penemuan yang paling luar biasa pada 1000 tahun terakhir. Penting untuk disadari bahwa abjad mungkin merupakan kunci keberhasilan mesin cetak.
Mesin cetak juga merupakan faktor pendiri dari himpunan ilmuwan yang dengan mudah menceritakan penemuan mereka lewat pendirian jurnal ilmiah yang disebarkan secara luas. Hal ini membantu mereka membawa masuk revolusi ilmiah. Kepengarangan menjadi lebih berarti dan menguntungkan karena adanya mesin cetak. Tiba-tiba hal ini menjadi penting siapa yang mengatakan atau menulis apa, dan apa yang merupakan perumusan dan masa susunan yang tepat. Hal Ini memperbolehkan pengarang untuk menyebutkan persis referensi, yang menghasilkan peraturan, "Satu orang Pengarang, satu kerja (hak), satu potong informasi" (Giesecke, 1989; 325). Sebelumnya, pengarang bukan sesuatu yang penting, sejak salinan Aristotle yang dibuat di Paris tidak akan identik dengan yang asli di Bologna. Untuk banyak karya sebelum mesin cetak, nama pengarang secara menyeluruh hilang.
Dalam lima puluh atau enam puluh tahun penemuan mesin cetak, seluruh peraturan klasik sudah dicetak ulang dan disebarluaskan di seluruh Eropa (Eisenstein, 1969; 52). Sejak lebih banyak orang mempunyai akses terhadap pengetahuan baik baru maupun lama, lebih banyak orang dapat membicarakan karya ini.
Selanjutnya, sejak produksi buku adalah
perusahaan yang lebih komersial, undang-undang hak cipta pertama disahkan untuk
melindungi apa yang sekarang disebut hak-hak kepemilikan intelektual. Sedetik
perkembangan popularisasi pengetahuan ini adalah kemunduran bahasa Latin
sebagai bahasa kebanyakan karya yang diterbitkan, untuk digantikan oleh bahasa
sehari-hari di masing-masing bidang, menambah jenis karya yang diterbitkan.
Secara paradoksal, kata yang di cetak juga membantu untuk mempersatukan dan
menstandarisasi ejaan dan sintaksis logat asli, dan mempunyai efek yang
mengurangi keanekaragaman mereka. Kenaikan dalam kepentingan bahasa nasional
yang bertentangan dengan masyarakat Eropa Latin disebutkan sebagai salah satu
sebab kenaikan nasionalisme di Eropa.
Karena proses mencetak menjamin bahwa informasi yang sama jatuh pada halaman yang sama, halaman yang diberi nomor, daftar isi, dan indeks menjadi biasa, meskipun mereka dulunya belum dikenal. Proses membaca juga diubah, lambat laun berubah dalam beberapa abad dari pengukuran lisan sampai membaca pribadi. Ketersediaan bahan cetak yang luas juga menyebabkan kenaikan drastis di tingkat melek huruf dewasa di seluruh Eropa.
Sejarah Jurnalistik Indonesia
Koran Pertama Indonesia |
Surat kabar yang pertama
untuk kaum pribumi dimulai pada tahun 1854 ketika majalah " Bianglala '
diterbitkan ; disusul oleh " Bromatani " pada tahun 1885, keduanya -
keduanya di Weltevreden, dan pada tahun 1856 " Soerat Kabar Bahasa Melajoe
" di Surabaya.
Surat kabar Medan Prijaji yang terbit pada zaman penjajahan |
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Sedangkan sejarah pers pada abad 20 ditandai dengan munculnya koran milik bangsa Indonesia. Modal dari bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia yakni " Medan Prijaji " yang terbit di Bandung. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurdjo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, yakni tahun 1907 berbentuk mingguan kemudian pada tahun 1910 diubah menjadi harian. Tirto Hadisurdjo ini dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain - lain.
Ditinjau dari sudut jurnalistik, salah seorang tokoh bernama Dr. Abdoel Rivai dianggap sebagai wartawan yang paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap kolonialisme Belanda. Oleh Adinegoro, Dr. Rivai diberi julukan " Bapak Jurnalistik Indonesia ", dan diakui oleh semua wartawan pada waktu itu sebagai kolumnis Indonesia yang pertama.
Perkembangan
Koran di Indonesia
Sejarah koran di
Indonesia sendiri terdapat 3 zaman, yaitu :
Zaman Belanda
Javasche Courant terbit di Indonesia pada zaman Belanda |
Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang
dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar
berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland,
Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia,
Pemberitaan Bahroe(Surabaya) dan Surat kabar berbahasa jawa Bromartani yang
terbit di Solo.
Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat
kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa
surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat-alat tenaga. Tujuan
sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap
isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh
kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang,
yakni Domei.
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
Zaman Awal Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan, Indonesia pun
melakukan perlawanan dalam sabotase komunikasi. Surat kabar yang diterbitkan
oleh bangsa Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang
diterbitkan pemerintah Jepang.
Surat kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeraedi ikut melakukan propaganda agar rakyat datang berbondong-bondong pada rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta tanggal 19 September 1945. Surat kabar perjuangan lainnya antara lain adalah Merdeka yang didirikan oleh B.M Diah, Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Soeara Indonesia pimpinan Manai Sophian di Makassar,Pedoman Harian yang berganti nama Soeara Merdeka di Bandung,Kedaulatan rakyat di Bukit tinggi, serta surat kabar Demokrasi danOetoesan Soematra di Padang.
Zaman Orde Lama
Setelah presiden soekarno mengumumkan dekrit
kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik
termasuk pers. Persyaratan mendapatkan (SIT) surat izin terbit dan surat izin
cetak diperketat. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang pada saat itu amat menaruh perhatian pada pers. PKI
memanfaatkan para buruh, termasuk karyawan surat kabar untuk melakukan apa yang
dinamakan slowdown strike, yakni mogok secara halus. Dalam hal ini karyawan
dibagian setting memperlambat kerja sehingga banyak kolom surat kabar yang
tidak terisi menjelang deadline (batas waktu cetak). Akhirnya kolom kosong itu
diisi iklan gratis sebagaimana dialami oleh Soerabaja Post dan Harian Pedoman
di Jakarta. Pada masa inlah sering terjadi polemic antara surat kabar yang pro
PKI dan anti PKI.
Zaman Orde Baru
Pertumbuhan pers yang marak di satu pihak
cukup sangat menggembirakan, tapi di lain pihak perlu diwaspadai. Karena masih
banyak surat kabar atau majalah yang terdorong oleh tujuan komersial ataupun
motif lainnya menyajikan berita-berita sensasional tanpa adanya norma-norma
kesusilaan, sopan santun, kerahasian Negara dan kurang memperhatikan akibat
tulisan yang dapat menyebabkan disintegrasi rakyat.
Pembredelan
di Era Orde Baru
Pembredelan adalah pencabutan izin suatu
media.
Alasan pembredelan biasanya adalah pemberitaan di media yang bersangkutan
menjurus kepada hal-hal yang menyinggung penguasa dan/atau lapisan masyarakat
tertentu.
Salah satu perilaku buruk penguasa dari dulu sampai sekarang adalah melakukan pembredelan terhadap media massa maupun elektronik yang berusaha menguak kebobrokan atau perilaku korup penguasa. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari menutup mulut wartawan dengan amplop sampai dengan pembredelan medianya, bahkan bila perlu membunuh wartawannya pun menjadi halal.
Salah satu perilaku buruk penguasa dari dulu sampai sekarang adalah melakukan pembredelan terhadap media massa maupun elektronik yang berusaha menguak kebobrokan atau perilaku korup penguasa. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari menutup mulut wartawan dengan amplop sampai dengan pembredelan medianya, bahkan bila perlu membunuh wartawannya pun menjadi halal.
Kebiasaan penguasa melakukan pemberedelan pers sebenarnya sudah terjadi lama. Misalnya sejak tahun 1712, Direktur VOC melarang rencana penerbitan surat kabar pertama di Jakarta. Kalau penjajah yang melarang jelas karena memang mereka tidak ingin media menjadi senjata ampuh untuk perjuangan kemerdekaan dan mendidik masyarakat. Namun jika pembredelan dilakukan setelah kita merdeka, apa bedanya penguasa negeri ini dengan penjajah Belanda. Benar kiranya pernyataan, bahwa kita sekarang dijajah bangsa sendiri.
Berikut sejarah pembredelan, intervensi dan warning kepada beberapa media yang dapat diidentifikasikan pada berbagai delik dan tahun kejadiannya. Pertama, delik keamanan nasional dan ketertiban umum terhadap harian Kami dan Duta Masyarakat (1971), Harian Sinar Harapan (1973), Harian Nusantara, Abadi, Indonesia Raya, Kami, Jakarta Times, Suluh Berita, Express, Wenang dan Mahasiswa Indonesia (1974), majalah Newsweek (1976), koran mahasiswa UI Salemba (1977), majalah Tempo dan harian Pelita (1982), jurnal Ekuin (1983), majalah Topik dan majalah Fokus (1984).
Kedua, masuk dalam
delik penghinaan terhadap majalah Matahari (1979), majalah Yaumul AL Quds
(1983), majalah Expo (1984) dan majalah Editor (1989). Ketiga, delik agama
terhadap tabloid Monitor yang saat itu dipimpin Arswendo Atmowiloto (1990).
Keempat, delik penyiaran kabar bohong terhadap Kompas, Sinar Harapan, Merdeka,
Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pop Sore (1978), serta Harian
Prioritas (1987).
Era bisnis (1974-1988)
Era bisnis (1974-1988)
Mulai pertengahan
tahun 1970-an pers makin tampil sebagai sebuah industri. Hal ini karena
pemerintah orde baru berhasil melakukan perbaikan ekonomi yang berdampak pada
tingkat daya beli masyarakat.Tetapi pada sisi lain terjadi peningkatan control
pemerintah terhadap pers. Sikap pemerintah itu semakin jelas ketika terjadi
peristiwa kerusuhan malapetaka 15 januari 1974 (Malari). Pasca kerusuhan
tersebut pemerintah menghentikan secara tetap 12 surat kabar yang memberitakan
peristiwa tersebut. Pembredelan pun terus terjadi. Hal tersebut membuat
terjadinya pergeseran sikap pers menjadi lebih hati-hati karena mereka takut
dibredel. Hal ini guna menyelamatkan kelangsungan bisnis mereka.
Awal 1974, terjadi pembatalan izin terbit massal yang menimpa harian Nusantara pimpinan Tengku Dzulkifli Hafas, Abadi di bawah pemimpin redaksi Soemarso Soemarsono, Harian Kami, Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, The Jakarta Times pimpinan Zein Effendi, Pedoman pimpinan Rosihan Anwar, mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia dan majalah berita Ekspres (semuanya terbit di Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mahasiswa Indonesia (Jakarta) serta Indonesia Pos (Ujung Pandang). Media tersebut diberangus karena pemberitaan mereka yang tidak menyenangkan penguasa mengenai peristiwa unjuk rasa anti-pemerintah oleh mahasiswa pada bulan Januari tahun itu. Di samping itu, pemerintah menahan Mochtar Lubis dan wakil pemimpin redaksi Indonesia Raya Enggak Bahau’ddin dan Soemarso Soemarsono. Wartawan lain yang pernah ditahan beberapa tahun kemudian adalah Syahrir Wahab dan Mansur Amin. Pengadilan T. Hafas oleh pemerintah atas tuduhan ‘menyebar kebencian’ adalah kasus pers yang menonjol di awal masa Orde Baru.
Awal 1974, terjadi pembatalan izin terbit massal yang menimpa harian Nusantara pimpinan Tengku Dzulkifli Hafas, Abadi di bawah pemimpin redaksi Soemarso Soemarsono, Harian Kami, Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, The Jakarta Times pimpinan Zein Effendi, Pedoman pimpinan Rosihan Anwar, mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia dan majalah berita Ekspres (semuanya terbit di Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mahasiswa Indonesia (Jakarta) serta Indonesia Pos (Ujung Pandang). Media tersebut diberangus karena pemberitaan mereka yang tidak menyenangkan penguasa mengenai peristiwa unjuk rasa anti-pemerintah oleh mahasiswa pada bulan Januari tahun itu. Di samping itu, pemerintah menahan Mochtar Lubis dan wakil pemimpin redaksi Indonesia Raya Enggak Bahau’ddin dan Soemarso Soemarsono. Wartawan lain yang pernah ditahan beberapa tahun kemudian adalah Syahrir Wahab dan Mansur Amin. Pengadilan T. Hafas oleh pemerintah atas tuduhan ‘menyebar kebencian’ adalah kasus pers yang menonjol di awal masa Orde Baru.
Pembredelan Surat
Kabar di Masa Orde Baru
Pada era orde
baru, pelanggaran terbit bagi pers berdasarkan dua undang-undang, yaitu UU No.
1 Tahun 1966 yang di dalamnya mengtur tentang Surat Ijin Terbit (SIT) dan UU
No. 21 Tahun 1982 mengatur tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Pada kedua
undang-undang itu istilah pers dirumuskan secara negatif. Artinya, kedua
undang-undang itu melarang adanya tindakan pembredelan terhadap pers. Namun
pada prakteknya, mekanisme SIT dan SIUPP digunakan untuk membredel pers
sepanjang sejarah Orde Baru.
Dalam UU No.11
Tahun 1966 pasal 8 menyebutkan bahwa setiap warganegara Indonesia berhak
membentuk penerbitan pers dan untuk itu tidak diperlukan SIT. Pasal 20 ayat 1
huruf a menentukan bahwa selama masa peralihan berlakunya undang-undang ini
penerbitan pers diwajibkan memiliki SIT, sampai ketentuan ini dicabut oleh
pemerintah atau DPR. Pasal 11 menentukan bahwa apabila penerbitan pers
bertentangan dengan Pancasia dapat dilarang terbit. Beberapa pasal itulah yang
dijadikan dasar pemerintah untuk melakukan pelanggaran terbit bagi suatu
penerbitan pers.
Selama berlakunya
UU tersebut, khususnya pada era 1970-an, tercatat 26 penerbitan pers dilarang
terbit kembali. 12 di antaranya dicabut SIT-nya sehubungan dengan peristiwa
Malapetaka 15 Januari (Malari).
Peristiwa Malari
meletus berawal dari adanya kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Jakarta.
Kunjungan tersebut disambut oleh demonstrasi mahasiswa yang menjalar pada massa
secara meluas, yang mengakibatkan huru-hara. Demonstrasi itu bermuatan kritik
terhadap kebijakan pembangunan yang diambil pemerintah dah naiknya hutang dalam
negeri. Karena pers dituduhikut menyebarkan dan memanaskan suasana saat itu,
pers terkena imbasnya, yaitu terkena pelanggaran terbit.
Sebagai rangkaian
dari pembredelan itu, dua wartawan senior, Mochtar lubis dan Baha’uddin,
pemimpin redaksi dan wakil pemimpin redaksi harian Indonesia raya,
sempat ditahan oleh pihak keamanan dengan tuduhan mengadakan rapat gelap untuk
menggulingkan pemerintah. Empat belas penerbitan lainnya dibredel
sehubungan dengan aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa kampus perguruan
tinggi pada tahun 1977-1988. Demonstrasi itu bermuatan kritik mahasiswa
terhadap ketidakadilan, disparitas pendapatan yangcukup tajam da tuntutan agar
Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden sekaligus untuk tidak
mencalonkan diri kembali pada pemilu berikutnya.
Pembredelan kali
ini termasuk juga terhadap sejumlah penerbitankampus Salemba, Tri Dharma,
Kampus, Integritas, Berita ITB, dan Aspirasi. Padahal pers kampus dianggagp
sebagai “cagar alam kebebasan pers”.
Selama tahun
1980-an, sebelum lahirnya konsep SIUPP, pencabutan SIT juga terjadi terhadap
beberapa media pers. Beberapa alas an yang dijadikan dasar untuk pembredelan
itu alas an stabilitas politik, seperti kasus TEMPO da PELITA, ketika
memberitakan huru-hara saat kampanye pemilu tahun 1982. Sepanjang tahun
1983-1984, tercatat empat penerbitan pers, Jurnal Ekuin, Expo, Topik dan Fokus,
dicabut SIT-nya dengan beragam alas an.
Lahirnya UU No. 21
Tahun 1982 sebagai penyempurnaan dan pengganti undang-undang yang lama, konsep
SIT dihapus dan diperkenalkan konsep SIUPP. Munculnya konsep SIUPP ini dinilai
sebagai pergeseran dari pers politik menuju pers industri.
UU No. 21 tahun
1982 Pasal 3 ayat 5 menentukan bahwa setiap penerbitan pers harus memilki
SIUPP, yang akan diatur pemerintah. Dalam Pasal 33 ditentukan bahwa SIUPP suatu
penerbitan pers dapat dibatalkan. Syarat-syarat untuk membatalkanya ada dalam
pasal itu juga.
Tindakan
Pemerintah melarang terbit dengan mekanisme pembatalan SIUPP pun terjadi pada
pertengahan tahun 1944. Tiga penerbitan pers TEMPO, DETIK, dan Editor,
dibatakan SIUPPnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No.
123/KEP/MENPEN/1994 dengan alas an isi yang dimuat TEMPO sudah tidak dapat lagi
mencerminkan pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab.
Detik dicabut
SIUPP-nya dengan SK MENPEN No.125/KEP/MENPEN/1994 dengan dalil telah menyalah
gunakan SIUPP-nya dengan mengubah isi tabloid yang semula tentang informative,
detektif, dan criminal, menjadi berita umum dan politik, sedangkan EDITOR
melalui SK MENPEN No. 124/KEP/MENPEN/1994 dibatalkan SIUPP-nya karena masalah
kekosongan pengelola majalah tersebut.
Sumber :
https://www.academia.edu/7323672/Sejarah_kertas
http://serbasejarah.blogspot.com/2011/05/sejarah-pers-indonesia.html
https://prezi.com/afq9f5d-z_2v/sejarah-pers-dunia/