BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kearifan
lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia. Kearifan lokal terbentuk
sebagai proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka
memenuhi berbagai kebutuhannya. Di
dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan,
dan ide-ide masyarakat setempat. Contohnya seperti kearifan lokal yang dapat
kita temui di desa wisata Wae Rebo yang masih bergantung dari alam ini juga
merupakan suguhan tersendiri ketika berkunjung ke desa wisata ini. Adapun prospek kearifan lokal di masa
depan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi,
permintaan pasar, pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati di
lingkungannya serta berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung
dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peran
masyarakat lokal (Suhartini
2009:1).
1.2.
Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan kearifan
lokal ?
b. Apa yang dimaksud desa wisata ?
c. Apa saja yang menjadi kearifan lokal
di desa wisata Wae Rebo, Flores?
1.3.
Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui tentang kearifan lokal
b. Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan desa wisata
c. Untuk mengetahui kearifan lokal yang
ada di desa wisata Wae Rebo, Flores
d. Untuk memenuhi tugas softskill
kepariwisataan 2
1.4.
Manfaat Penulisan
Memberikan informasi dan pengetahuan baru kepada pembaca mengenai
pariwisata
dan kearifan lokal yang ada di desa Wae Rebo, Flores, Nusa
Tenggara Timur.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Kearifan Lokal
Menurut Putu Oka Ngakan
dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai
atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan
tempatnya hidup secara arif. Maka
dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan
suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan
hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan
maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal
bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,
tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Sementara itu Keraf
(2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk
kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari
generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama
manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Ridwan
(2007:2) memaparkan, kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut, disusun
secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam
menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil
penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah
istilah wisdom sering diartikan sebagai "kearifan/kebijaksanaan".
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem
nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain
sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara
manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi
yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang
interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam
lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung
akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan
hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka.
2.2
Pengertian Desa Wisata
Desa wisata adalah
sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk
menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya masih memiliki
tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor
pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut
mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan
lingkungan yang
masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata. Selain berbagai keunikan, kawasan desa wisata juga harus memiliki berbagai fasilitas untuk menunjangnya sebagai kawasan tujuan wisata. Berbagai fasilitas ini akan memudahkan para pengunjung desa wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Fasilitas-fasilitas yang sebaiknya dimiliki oleh kawasan desa wisata antara lain adalah sarana transportasi, telekomunikasi, kesehatan, dan juga akomodasi. Khusus untuk sarana akomodasi, desa wisata menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata sehingga para pengunjung pun turut merasakan suasana pedesaan yang masih asli.
masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata. Selain berbagai keunikan, kawasan desa wisata juga harus memiliki berbagai fasilitas untuk menunjangnya sebagai kawasan tujuan wisata. Berbagai fasilitas ini akan memudahkan para pengunjung desa wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Fasilitas-fasilitas yang sebaiknya dimiliki oleh kawasan desa wisata antara lain adalah sarana transportasi, telekomunikasi, kesehatan, dan juga akomodasi. Khusus untuk sarana akomodasi, desa wisata menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata sehingga para pengunjung pun turut merasakan suasana pedesaan yang masih asli.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Desa Wae Rebo
Wae Rebo merupakan
sebuah desa yang terletak di Barat Daya kota Ruteng, ibukota Kabupaten
Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Desa
Wae remo merupakan desa kecil
dengan 7 rumah adat berbentuk kerucut, yang telah dihuni turun temurun selama
19 generasi. Untuk
mencapai desa Wae Rebo, akses transportasi udara akan lebih mudah dilalui jika
perjalanan dimulai dari Labuan Bajo. Dari beberapa sumber, kebanyakan
pengunjung mengambil rute memutar dari Ruteng sebelum menuju desa Denge yang
merupakan desa terakhir sebelum menuju desa Wae Rebo. Selama perjalanan panjang
menuju desa Denge kita akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa, hamparan
sawah dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak dan pemandangan
pesisir pantai yang menggoda.
Denge merupakan
desa pesisir yang berada di tepi pantai. Dari Denge kita bisa melihat pulau
Mules dengan sebuah puncak yang terletak di tengah pulau tersebut. Denge
berperan sebagai desa transit bagi para wisatawan sebelum melanjutkan
perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah ada beberapa homestay yang dikelola oleh
warga Denge maupun Wae Rebo yang turun gunung. Biasanya sebelum melanjutkan
perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat di Denge setelah
perjalanan panjang dari Labuan Bajo atau Ruteng. Desa Denge adalah desa
terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor, baik itu motor maupun mobil.
Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki. Untuk memudahkan para
pengunjung, banyak pemuda desa Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi
tenaga porter, membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat
trekking menuju Wae Rebo.
Perjalanan akan
dimulai dari Denge denga jarak tempuh ± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 –
4 jam, sangat tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung. Karena letak
desa Denge persis di tepi pantai, bisa dikatakan perjalanan ke Wae Rebo dimulai
dari titik 0 m dpl dan mendaki pengunungan hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute
awal merupakan jalanan tanah lebar yang sekiranya akan dibuat jalan aspal.
Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada saat memasuki hutan,
pengunjung akan disambut oleh riuhnya suara kicauan burung. Hutan di wilayah
ini merupakan area umum, yaitu sebuah lokasi yang menjadi
tempat pertemuan setiap warga masyarakat. Tidak heran jika selama perjalanan
melintasi hutan, kita akan sering bertemu dengan warga masyarakat yang sedang
mengambil hasil hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo atau Denge,
atau hanya sekedar berkunjung ke sanak keluarga, dan lain sebagainya. Rute
berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan yang rawan longsor dan
jalanan semakin menyempit. Jalur dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi
tantangan tersendiri bagi para pengunjung. Jalur terberat adalah jalur antara
Denge hingga Wae Lumba. Jalur ini berkarakter bebatuan yang besar, kerap
menanjak dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah sungai kecil
sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga menegangkan,
terutama untuk orang yang takut ketinggian. Pengunjung akan menyusuri jalur
yang berada di bibir jurang. Poco Roko merupakan titik tertinggi dan lokasi
dimana masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini biasanya warga mencari
sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon berarti komunikasi dengan dunia
luar bisa terjadi. Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update
status di salah satu jejaring sosial pada saat berada di Poco Roko. Beberapa
menit setelah melalui Poco Roko, kita akan sampai di Ponto Nao. Disini terdapat
sebuah pos pemantau dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama seperti bahan yang
digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat
di kejauhan sebuah dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang
mengepulkan asap. Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo. Jalur perjalanan akan
menurun dengan hamparan tanaman kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang
kampung Wae Rebo.
3.2
Kearifan lokal di desa Wae Rebo
Wae Rebo adalah desa
adat Manggarai Tua yang berusaha untuk melestarikan kearifan lokal sebagai
salah satu kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan adalah
ritual Pa’u Wae Lu’u. Ritual ini dipimpin oleh
salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta ijin dan perlindungan
kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga
tamu tersebut meninggalkan kampung ini. Tidak hanya itu, ritual ini juga
ditujukan kepada pengunjung ketika sudah sampai di tempat asal mereka. Bagi
masyarakat Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai saudara yang sedang
pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk
melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto. Tetua adat Wae Rebo kemudian
akan melakukan briefing kecil tentang beberapa hal yang tabu
dilakukan selama para tamu berada di Wae Rebo. Beberapa hal tersebut antara
lain adalah memakai pakaian sopan, artinya untuk para wanita tidak
diperkenankan memakai tank top atau hot pants, selain
karena udara dingin, hal ini akan membuat warga masyarakat menjadi risih. Hal
lain yang perlu mendapat perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu
dengan lawan jenis maupun sejenis, seperti berpegangan tangan, berpelukan atau
berciuman, bahkan untuk yang sudah berstatus suami istri. Hal lain yang perlu
dihindari adalah mengumpat atau memaki selama berada di kampung ini. Pengunjung
juga diharuskan melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah. Kearifan
lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tentang penggunaan uang
administrasi bagi wisatawan yang masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan
bahwa biaya administrasi selalu dikaitkan dengan komersialisasi budaya, uangnya
dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu dikaitkan dengan korupsi. Namun
uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut kearifan lokal setempat.
Pengelolaan uang ini dipercayakan kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang
administrasi yang didapat dari wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan
makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para ibu, pemeliharaan
infrastruktur kampung, bahan bakar generator set dan sumber air. Sehari-hari
warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan pengrajin kain tenun cura. Saat ini
warga Wae Rebo sedang mengembangkan berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan yang
datang, bisa mengikuti kegiatan ini, seperti ikut menumbuk kopi dengan ibu-ibu,
memetik kopi dari kebun kopi dengan para lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu
menenun kerajinan kain cura yang biasanya dilakukan di depan rumah. Para
wisatawan dapat terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Wae
Rebo. Saat malam tiba pengunjung akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae
Rebo yang namanya sudah mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam dari
daun pandan, kita akan bercengkerama dan saling berbagi cerita tentang
pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Sikap hidup masyarakat Wae Rebo
yang rendah hati yang ditunjukan dalam keramahan menyambut orang yang
datang berkunjung merupakan salah satu nilai yang bisa diambil oleh para
generasi muda Indonesia untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain
itu, kearifan lokal yang terdapat di dalam masyarakat desa Wae Rebo juga
mengajarkan kita untuk melestarikan nilai-nilai kekerabatan yang sudah melekat
erat dalam kebudayaan mereka.
Sumber
:
Ridwan, N.A. (2007). Landasan Keilmuan Kearifan Lokal.
Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.5, (1), 27-38.
http://travel.kompas.com/read/2013/10/12/0837379/Wae.Rebo.Kearifan.yang.Memesona
Tidak ada komentar:
Posting Komentar